Terkutuklah
cinta yang telah menancapkan panahnya padaku, dengan bantuan tangan Cupid
tolol, bayi kecil ingusan yang berlagak menjadi
dewa. Sombong dengan kuasanya yang mampu
menyebarkan racun kekejaman, Racun Cinta. Ia minumkan secawan candu biru
beraroma manis memabukkan dengan ribuan getar dan hasrat, memabukkan, mematikan. Menusukkan panahnya
yang penuh matra dengan tanpa ampun kejantungku yang berdetak kencang. Di suguhkannya sebotol anggur dewa berwarna pekat
merah milik ibunya, Venus, sang dewi kecantikan dan aku meminum darah, darah
cinta, darahku sendiri.
Aku mememekik
tercekik dengan seluruh kenistaan beralaskan kenikmatan, dengan getar seluruh
jiwa, melebur seluruh raga, bermetamorfosa dalam kubang dosa penuh air mata
bernama cinta. Terkubur dalam-dalam didalam liang kematian, memekik tercekik,
meronta tercekat, namun tak mampu terlepas hilang. Asa seluruhnya masih ada,
tetap terpatri abadi didalam rongsokan ingatan, seluruh ingatan dalam senyuman,
seluruh tetesan air yang merembes basah dipelupuk mata. Hilang jiwa tak bermakna, separuh mati sambil
tertawa, mayat hidup yang tetap bergerak dalam dunia paralel penuh dengan peluh
sunyi menanti benar-benar mati.
Mencintaimu
dengan sepenuh jiwa, seluruh raga kusuguhkan bersama kuatnya cinta yang membuat
nyaris sinting seperti orang gila. Nyala api dalam diri ini tidak meredup,
semakin berkobar dan berkilat-kilat siap untuk menyambar, membakar. Aku terbakar
dalam diriku sendiri, aku bergejolak dalam jiwaku yang laknat, aku terdiam
dalam seluruh teriakan tanda tanya “kenapa” yang sungguh-sungguh memekakkan
telinga batin. Kapan jiwa ini akan kembali melayang terbang keangkasa terang,
bukan dalam kenestapaan harapan yang memudar dan hilang?
Hai
Cupid bodoh, bisakah kau tunjukkan padaku panahmu yang satu lagi? Panah kebencian.
Tusukkanlah panah itu, agar seluruh rinduku menghilang, dan nyeri ini lenyap,
bukankah engkau selalu menggenggam panah itu tanpa pernah melesatkannya? Lepaskanlah
panah itu tepat bilik dijantungku, agar jantung ini berhenti berdegup, aku tak
keberatan bila untuk itu harus kutukar dengan kematian. Sampaikan pada Venus
ibumu yang merupakan Lambang dari bintang kelahiranku. Bahwa aku siap terbang
memecah berserak menjadi pasir yang bersinar diangkasa.
Mati
bukanlah suatu tantangan yang harus ditakuti, karena mati memiliki
kenikmatannya tersendiri. Terkubur dalam gelap sambil tertidur pulas adalah
sebuah keberuntungan abadi, yang hanya dimiliki oleh kesayangan surgawi. Entah rencana apalagi yang akan dimainkan
takdir untukku, rencana lucu tolol menggelikan yang mengendalikan diriku seperti boneka
bertali pancang, menggerakkanku sesuka tangannya, menjatuhkan aku
sekehendaknya, menyeretku kehamparan jalan-jalan penuh lubang dan lumpur
siksaan, memberi arti penuh luka dalam yang bertopengkan senyuman dan riuh tawa
menutup air mata berwana kemerahan.
Ini rindu
tak terbendung, menyesakkan dan menghilangkan akal sehat, membunuh perlahan
dengan pasti dan menyakitkan. Ini rinduku
untukmu yang tak mampu aku kendalikan
meski perih terus mendera, dalam kegelisahan batin menanti kau siramkan setetes
air surgamu yang bukan lagi miliku. Tak sanggup
lagi rasanya aku menahan getir perih dalam hitungan bulan, memintamu untuk
masuk dalam kehidupanku lagi adalah sebuah kemustahilan, namun sosokmu terpatri terlalu erat didalam
ingatan, tak mampu aku singkirkan. Kerinduan ini terus menghimpitku tercampur
bau kehilangan yang meremukkan jiwaku. Dan kini aku terkubur mati didalam
kepedihan, kamu menghancurkan seluruh keinginanku akan jiwamu.
Wahai
Cupid dan Venus.. Kini Kalian boleh meleburkan jiwaku menjadi debu bersinar,
bertabur diangkasa bernama bintang.