Senin, 18 November 2013

Rinduku dan Panah Cupid








Terkutuklah cinta yang telah menancapkan panahnya padaku, dengan bantuan tangan Cupid  tolol, bayi  kecil ingusan yang berlagak menjadi dewa.  Sombong dengan kuasanya yang mampu menyebarkan racun kekejaman, Racun Cinta. Ia minumkan secawan candu biru beraroma manis memabukkan dengan ribuan getar dan hasrat,  memabukkan, mematikan. Menusukkan panahnya yang penuh matra dengan tanpa ampun kejantungku yang berdetak kencang.  Di suguhkannya sebotol anggur dewa berwarna pekat merah milik ibunya, Venus, sang dewi kecantikan dan aku meminum darah, darah cinta, darahku sendiri. 

Aku mememekik tercekik dengan seluruh kenistaan beralaskan kenikmatan, dengan getar seluruh jiwa, melebur seluruh raga, bermetamorfosa dalam kubang dosa penuh air mata bernama cinta. Terkubur dalam-dalam didalam liang kematian, memekik tercekik, meronta tercekat, namun tak mampu terlepas hilang. Asa seluruhnya masih ada, tetap terpatri abadi didalam rongsokan ingatan, seluruh ingatan dalam senyuman, seluruh tetesan air yang merembes basah dipelupuk mata.  Hilang jiwa tak bermakna, separuh mati sambil tertawa, mayat hidup yang tetap bergerak dalam dunia paralel penuh dengan peluh sunyi menanti benar-benar mati.

Mencintaimu dengan sepenuh jiwa, seluruh raga kusuguhkan bersama kuatnya cinta yang membuat nyaris sinting seperti orang gila. Nyala api dalam diri ini tidak meredup, semakin berkobar dan berkilat-kilat siap untuk menyambar, membakar. Aku terbakar dalam diriku sendiri, aku bergejolak dalam jiwaku yang laknat, aku terdiam dalam seluruh teriakan tanda tanya “kenapa” yang sungguh-sungguh memekakkan telinga batin. Kapan jiwa ini akan kembali melayang terbang keangkasa terang, bukan dalam kenestapaan harapan yang memudar dan hilang?

Hai Cupid bodoh, bisakah kau tunjukkan padaku panahmu yang satu lagi? Panah kebencian. Tusukkanlah panah itu, agar seluruh rinduku menghilang, dan nyeri ini lenyap, bukankah engkau selalu menggenggam panah itu tanpa pernah melesatkannya? Lepaskanlah panah itu tepat bilik dijantungku, agar jantung ini berhenti berdegup, aku tak keberatan bila untuk itu harus kutukar dengan kematian. Sampaikan pada Venus ibumu yang merupakan Lambang dari bintang kelahiranku. Bahwa aku siap terbang memecah berserak menjadi pasir yang bersinar diangkasa. 

Mati bukanlah suatu tantangan yang harus ditakuti, karena mati memiliki kenikmatannya tersendiri. Terkubur dalam gelap sambil tertidur pulas adalah sebuah keberuntungan abadi, yang hanya dimiliki oleh kesayangan surgawi.  Entah rencana apalagi yang akan dimainkan takdir untukku, rencana lucu tolol menggelikan yang mengendalikan diriku seperti boneka bertali pancang, menggerakkanku sesuka tangannya, menjatuhkan aku sekehendaknya, menyeretku kehamparan jalan-jalan penuh lubang dan lumpur siksaan, memberi arti penuh luka dalam yang bertopengkan senyuman dan riuh tawa menutup air mata berwana kemerahan.

Ini rindu tak terbendung, menyesakkan dan menghilangkan akal sehat, membunuh perlahan dengan pasti dan menyakitkan.  Ini rinduku untukmu  yang tak mampu aku kendalikan meski perih terus mendera, dalam kegelisahan batin menanti kau siramkan setetes air surgamu yang bukan lagi miliku.  Tak sanggup lagi rasanya aku menahan getir perih dalam hitungan bulan, memintamu untuk masuk dalam kehidupanku lagi adalah sebuah kemustahilan,  namun sosokmu terpatri terlalu erat didalam ingatan, tak mampu aku singkirkan. Kerinduan ini terus menghimpitku tercampur bau kehilangan yang meremukkan jiwaku. Dan kini aku terkubur mati didalam kepedihan, kamu menghancurkan seluruh keinginanku akan jiwamu.

Wahai Cupid dan Venus.. Kini Kalian boleh meleburkan jiwaku menjadi debu bersinar, bertabur diangkasa bernama bintang.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar