Minggu, 13 April 2014

Aku dan Kebodohan



Aku dan Kebodohan

Pada malam-malam kelam setelah semua rasa sakit yang aku rasakan diterangnya hari-hari penuh matahari. Aku terus bergumul dengan mimpi-mimpiku yang tak terwujud, aku terus berusaha tertidur untuk bermimpi lagi, bermimpi lagi. Terus berusaha menembus waktu dan batasan-batasan, melupakan norma-norma dan normalisasi kehidupan yang berada diujung hari-hari penuh kegalauan. Kehampaan hanyalah sebuah bentuk visualisasi dari rasa sepi yang begitu merasuki jiwa, rasa sepi yang kadang-kadang bisa tiba-tiba membakar dengan ledakan-ledakan besar didalam jiwa yang kosong. 

Aku sendiri merasa bodoh dalam pergumulan dengan jiwaku sendiri, bukankah sangat bodoh menangisi hal-hal yang tak  mungkin bisa kembali? Bukankah sangat bodoh mengharapkan hal yang sudah jelas takkan pernah bisa kau wujudkan!!?? Bukankah sangat bodoh berusaha menari-nari ditengah-tengah kobaran api yang begitu membludak namun tak satupun yang mau memadamkannya? Tak satupun peduli. Tidak dia, tidak juga waktu. Hah betapa bodohnya.

Kebodohan bukanlah satu-satunya hal yang bisa membuatku menyesali tentang ketidakbahagiaan yang aku rasakan, kebodohan hanyalah media dimana takdir yang tak mampu kurubah, menjalankan peranannya secara utuh. Kebodohan hanyalah visualisasi terapan dari sempitnya pemikiran-pemikiran manusia. Dan kebodohan adalah aku, kebodohan adalah aku yang berpikiran sangat sempit dalam memandang dunia yang luas, kebodohan adalah aku yang tak mampu mengukur seberapa jauh jarak antara hati, cinta dan benci, disatukan dalam benang merah perasaan. Kebodohan adalah dunia ini yang memandang setiap manusia dari visualisasi mata, tanpa melihat seberapa jauh pemikiran. Kebodohan adalah dangkalnya pemikiran dalam menilai sesuatu yang terlalu cepat dinilai tanpa mengetahui latar belakang dan seluk-beluk. 

Kebodohan itu sangat bercokol dalam hati, pikiran, logika dan bahkan perasaan, kebodohan erat kaitannya dengan keangkuhan, kesombongan dan kecongkakan hati. Aku adalah orang yang angkuh dan pesimistik terhadap cinta, aku adalah orang yang paling pendendam dan sinis dalam menilai orang lain, dan aku adalah orang yang bodoh.

Dan pada kenyataannya manusia adalah makhluk terbodoh yang pernah ada dimuka bumi, hal ini dibuktikan dengan kesia-siaan yang mereka bawa, mereka ciptakan atas semua tindakan kesemena-menaan yang pernah ada.  Kenyataannya manusia memang makhluk paling bodoh, makhluk tamak yang bodoh. Manusia makhluk yang dengan kepintarannya menjadi sangat bodoh dengan kedangkalan jangkauan dan terbatasnya titik pandang. Manusia memiliki kepintaran yang tak terbatas, namun manusiapun menjadi bodoh dengan cara berfikir yang sempit.

Manusia menjadi bodoh dengan semua keegoisan yang dimiliki, kenyataannya manusia egois memang manusia bodoh, manusia dengan egoisnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan perasaan manusia lainya. Dan hal ini aku menyebutnya dengan kebodohan yang tak berperikemanusiaan. Keegoisan adalah hal kejam yang orang lakukan dengan menyakiti orang lain, makhluk lain. 
Aku lega setidaknya aku bukan satu-satunya manusia bodoh dalam kebodohan ini, hanya mungkin aku adalah satu-satunya masokis bodoh, yang tak tau bagaimana menjalan kehidupan selanjutnya setelah semua rasa sakit yang aku rasakan. Selama ini aku menjalankan kesia-siaan yang bodoh, menaruh diriku dalam titik-titik kebodohan yang fatal. Bukan lantaran aku tak tau bagaimana cara mengakhiri rasa sakit ini, penyakit bodoh yang terus menggerogotiku, hingga tulang-tulangku terasa nyeri. 

Hanya saja dengan bodohnya aku tak rela bila rasa sakit ini kemudian menghilang bersama kenangan-kenangan indah yang bodoh yang sebenarnya dari dalam pikiranku tak ingin memikirkannya lagi, tak ingin kenangan itu ada lagi dalam ingatanku, yang setiap malamnya bisa menghantamku bertubi-tubi mengantarkanku kedalam mimpi buruk yang melelahkan. Namun dengan sangat menyiksannya hati bodohku ini menolak semua itu, menolak bila kenangan-kenangan indah yang bisa menjadi kenangan buruk hanya dalam hitungan detik itu, terbuang begitu saja, meskipun sebenarnya logikaku menyangkalnya. Dengan keras dan lantang logikaku meneriakan padaku bahwa hatiku mesti rela membuang semuanya, kenangan indah yang berasal dari masa lalu itu harus secepatnya dimusnahkan.

Karena sesungguhnya kenangan bodoh itulah yang membuat aku tak bisa bernafas lega, kenangan bodoh itulah yang membuat otakku tak bisa berfikir dengan benar, dan ini semua memang tidak benar, kesia-siaan, kebodohan dan kemusnahan. 

Entah kapan tepatnya aku bisa menghilangkan kebodohan ini dari dalam hatiku, kebodohan ini, kenangan ini, dari indah dengan bodohnya berubah, bermetamorfosis dengan begitu cepatnya menjadi kenangan-kenangan buruk. Aku sendiri terperangah mengatahui hal itu, aku masih tidak percaya dengan semua yang terjadi, aku masih tak percaya dengan semua keindahan yang terenggut begitu saja dari dalam kehidupanku.

Semua kebodohan itu, masih kupikul dipundakku, cinta yang bodoh, kenangan yang bodoh, pikiran yang bodoh, hati yang bodoh, dan  hidup yang bodoh. Semua lagu-lagu sedih yang kudendangkan menyerukan kebodohan, semua puisi, semua perjalanan, semua pertemuan, semua rasa, semua tatapan, semua getaran, semua kata, semua kalimat, semua canda, semua tawa, semua senyuman, semua tangis, semua air mata, semua hal, semuanya terangkum dalam tatanan-tatanan kebodohan yang sungguh-sungguh bodoh.

Dialah sibodoh, kekasih bodoh, pecinta bodoh, perasa yang bodoh, komentar-komentar bodoh, kelakuan yang bodoh, perhatian yang bodoh, cahaya yang bodoh, keceriaan yang bodoh, keputusan-keputusan yang bodoh, perubahan yang bodoh, takdir yang bodoh, dan aku yang benar-benar bodoh. 

Semetara dunia ini sibuk dengan berbagai macam kebodohan yang ada, sedang aku sibuk mendengkur dalam tidur yang disertai dengan mimpi-mimpi dan saat aku terbangun, tiba-tiba saja aku berubah menjadi lebih bodoh, dengan semua harapan-harapan baru, yang muncul menambah satu lagi daftar kemustahilan yang aku tulis dalam catatan-catatan, daftar harapan-harapan bodohku.

Didalam semua kebodohan yang aku miliki, terselip rasa takut yang luar biasa. Rasa takut ini bisa sangat mempengaruri keputusan-keputusanku, mengubahnya menjadi sangat tidak rasional. Rasa takut ini membuatku nampak lebih bodoh dari biasanya, rasa takut dan mimpi buruk, dua hal yang kemudian bersatu dalam alam pikiranku, dan membuat alam bawah sadarku cemas setengah mati. 

Tentang semua kebodohan dan rasa takut itu, kini aku mencoba menutup rapat-rapat hatiku, baik untuknya, untukmu dan untuk siapapun. Aku menutupnya dengan kunci-kunci kegetiran, sehingga nantinya perasaan, ataupun iming-iming kebahagiaan tak mampu mencuri kunci itu dan menerobos masuk kedalam hati rapuhku. Harapanku nantinya hati yang rapuh ini dapat berubah menjelma menjadi hati yang lebih kuat, lebih tegar dalam menghadapi hal-hal baru yang mungkin lebih menyakitkan dari ini. 

Aku masih mengingat sangat jelas dimana aku ditinggalkan dalam sepi dengan semua kebodohanku. Semua harapan, semua angan yang ada didalam pikiran dan hatiku, tiba-tiba saja menjadi buta. Melemparku ketempat yang jauh berbeda dari hari-hari bahagia kemarin, berubah menjadi hari-hari yang menyakitkan. 
Rasanya aku kalah, di kalahkan oleh kebodohanku, di kalahkan oleh waktu. Aku terus berusaha menghapus semua racun-racun cinta yang dipenuhi kebodohan ini, menepiskan semua angan-angan bodoh yang terus-menerus meliputi imajinasi palsu dan bodoh yang tiba-tiba menyerangku. Rasa perih itu menusukku, menghujamku tanpa ampun, bertubi-tubi, membuat nafasku tersengal dan aku tersedak.

Aku terus berharap dan berusaha meyakikan diriku sendiri, bahwa suatu saat nanti kebodohan ini akan hilang. Dan dengan menghilangnya semua kebodohan akan disertai dengan hilangnya semua rasa sakit, aku mungkin hanya bisa berharap. Ini sebuah harapan sebuah mimpi yang meskipun mustahil aku ingin hal itu terwujud. Aku ingin semua sakit, semua mimpi buruk semua masalah, semua nyeri, semua kepedihan hati, semua kebodohan, semuanya menghilang, menguap dalam bayang-bayang dan semuanya perlahan-lahan mengabur terbang dan lenyap ditelan waktu. Ini adalah keinginan terbesarku agar semua tatanan kembali ketempatnya, agar semua rasa sakit sembuh tanpa meninggalkan bekas, agar nantinya bisa terasa seperti tak pernah ada luka di hatiku, di hati siapapun.

Itulah sepenggal harapan bodoh, harapan yang hanya memang harapan, ku sebut bodoh karena memang dengan bodohnya tak mampu terwujud. Kusebut bodoh karena memang hanya sakit yang kemudian terasa, kusebut bodoh karena aku menganggap ini bodoh. Sebodoh-bodohnya sibodoh adalah aku yang masih paling bodoh,  bodoh karena aku tahu cara menjadi pintar, aku tahu cara terlepas dari kebodohan namun aku lebih memilih untuk jadi tetap bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar