Aku dan
Kebodohan
Pada malam-malam kelam setelah semua rasa sakit yang
aku rasakan diterangnya hari-hari penuh matahari. Aku terus bergumul dengan
mimpi-mimpiku yang tak terwujud, aku terus berusaha tertidur untuk bermimpi
lagi, bermimpi lagi. Terus berusaha menembus waktu dan batasan-batasan,
melupakan norma-norma dan normalisasi kehidupan yang berada diujung hari-hari
penuh kegalauan. Kehampaan hanyalah sebuah bentuk visualisasi dari rasa sepi
yang begitu merasuki jiwa, rasa sepi yang kadang-kadang bisa tiba-tiba membakar
dengan ledakan-ledakan besar didalam jiwa yang kosong.
Aku sendiri merasa bodoh dalam pergumulan dengan
jiwaku sendiri, bukankah sangat bodoh menangisi hal-hal yang tak mungkin bisa kembali? Bukankah sangat bodoh mengharapkan
hal yang sudah jelas takkan pernah bisa kau wujudkan!!?? Bukankah sangat bodoh
berusaha menari-nari ditengah-tengah kobaran api yang begitu membludak namun
tak satupun yang mau memadamkannya? Tak satupun peduli. Tidak dia, tidak juga
waktu. Hah betapa bodohnya.
Kebodohan bukanlah satu-satunya hal yang bisa membuatku
menyesali tentang ketidakbahagiaan yang aku rasakan, kebodohan hanyalah media
dimana takdir yang tak mampu kurubah, menjalankan peranannya secara utuh.
Kebodohan hanyalah visualisasi terapan dari sempitnya pemikiran-pemikiran
manusia. Dan kebodohan adalah aku, kebodohan adalah aku yang berpikiran sangat
sempit dalam memandang dunia yang luas, kebodohan adalah aku yang tak mampu
mengukur seberapa jauh jarak antara hati, cinta dan benci, disatukan dalam
benang merah perasaan. Kebodohan adalah dunia ini yang memandang setiap manusia
dari visualisasi mata, tanpa melihat seberapa jauh pemikiran. Kebodohan adalah
dangkalnya pemikiran dalam menilai sesuatu yang terlalu cepat dinilai tanpa mengetahui
latar belakang dan seluk-beluk.
Kebodohan itu sangat bercokol dalam hati, pikiran,
logika dan bahkan perasaan, kebodohan erat kaitannya dengan keangkuhan,
kesombongan dan kecongkakan hati. Aku adalah orang yang angkuh dan pesimistik
terhadap cinta, aku adalah orang yang paling pendendam dan sinis dalam menilai
orang lain, dan aku adalah orang yang bodoh.
Dan pada kenyataannya manusia adalah makhluk
terbodoh yang pernah ada dimuka bumi, hal ini dibuktikan dengan kesia-siaan
yang mereka bawa, mereka ciptakan atas semua tindakan kesemena-menaan yang
pernah ada. Kenyataannya manusia memang makhluk paling
bodoh, makhluk tamak yang bodoh. Manusia makhluk yang dengan kepintarannya
menjadi sangat bodoh dengan kedangkalan jangkauan dan terbatasnya titik
pandang. Manusia memiliki kepintaran yang tak terbatas, namun manusiapun
menjadi bodoh dengan cara berfikir yang sempit.
Manusia menjadi bodoh dengan semua keegoisan yang
dimiliki, kenyataannya manusia egois memang manusia bodoh, manusia dengan
egoisnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan perasaan
manusia lainya. Dan hal ini aku menyebutnya dengan kebodohan yang tak
berperikemanusiaan. Keegoisan adalah hal kejam yang orang lakukan dengan
menyakiti orang lain, makhluk lain.
Aku lega setidaknya aku bukan satu-satunya manusia
bodoh dalam kebodohan ini, hanya mungkin aku adalah satu-satunya masokis bodoh,
yang tak tau bagaimana menjalan kehidupan selanjutnya setelah semua rasa sakit
yang aku rasakan. Selama ini aku menjalankan kesia-siaan yang bodoh, menaruh
diriku dalam titik-titik kebodohan yang fatal. Bukan lantaran aku tak tau
bagaimana cara mengakhiri rasa sakit ini, penyakit bodoh yang terus
menggerogotiku, hingga tulang-tulangku terasa nyeri.
Hanya saja dengan bodohnya aku tak rela bila rasa
sakit ini kemudian menghilang bersama kenangan-kenangan indah yang bodoh yang
sebenarnya dari dalam pikiranku tak ingin memikirkannya lagi, tak ingin
kenangan itu ada lagi dalam ingatanku, yang setiap malamnya bisa menghantamku
bertubi-tubi mengantarkanku kedalam mimpi buruk yang melelahkan. Namun dengan
sangat menyiksannya hati bodohku ini menolak semua itu, menolak bila
kenangan-kenangan indah yang bisa menjadi kenangan buruk hanya dalam hitungan
detik itu, terbuang begitu saja, meskipun sebenarnya logikaku menyangkalnya.
Dengan keras dan lantang logikaku meneriakan padaku bahwa hatiku mesti rela
membuang semuanya, kenangan indah yang berasal dari masa lalu itu harus
secepatnya dimusnahkan.
Karena sesungguhnya kenangan bodoh itulah yang
membuat aku tak bisa bernafas lega, kenangan bodoh itulah yang membuat otakku
tak bisa berfikir dengan benar, dan ini semua memang tidak benar, kesia-siaan,
kebodohan dan kemusnahan.
Entah kapan tepatnya aku bisa menghilangkan
kebodohan ini dari dalam hatiku, kebodohan ini, kenangan ini, dari indah dengan
bodohnya berubah, bermetamorfosis dengan begitu cepatnya menjadi
kenangan-kenangan buruk. Aku sendiri terperangah mengatahui hal itu, aku masih
tidak percaya dengan semua yang terjadi, aku masih tak percaya dengan semua
keindahan yang terenggut begitu saja dari dalam kehidupanku.
Semua kebodohan itu, masih kupikul dipundakku, cinta
yang bodoh, kenangan yang bodoh, pikiran yang bodoh, hati yang bodoh, dan hidup yang bodoh. Semua lagu-lagu sedih yang
kudendangkan menyerukan kebodohan, semua puisi, semua perjalanan, semua
pertemuan, semua rasa, semua tatapan, semua getaran, semua kata, semua kalimat,
semua canda, semua tawa, semua senyuman, semua tangis, semua air mata, semua
hal, semuanya terangkum dalam tatanan-tatanan kebodohan yang sungguh-sungguh
bodoh.
Dialah sibodoh, kekasih bodoh, pecinta bodoh, perasa
yang bodoh, komentar-komentar bodoh, kelakuan yang bodoh, perhatian yang bodoh,
cahaya yang bodoh, keceriaan yang bodoh, keputusan-keputusan yang bodoh,
perubahan yang bodoh, takdir yang bodoh, dan aku yang benar-benar bodoh.
Semetara dunia ini sibuk dengan berbagai macam
kebodohan yang ada, sedang aku sibuk mendengkur dalam tidur yang disertai
dengan mimpi-mimpi dan saat aku terbangun, tiba-tiba saja aku berubah menjadi
lebih bodoh, dengan semua harapan-harapan baru, yang muncul menambah satu lagi
daftar kemustahilan yang aku tulis dalam catatan-catatan, daftar
harapan-harapan bodohku.
Didalam semua kebodohan yang aku miliki, terselip
rasa takut yang luar biasa. Rasa takut ini bisa sangat mempengaruri
keputusan-keputusanku, mengubahnya menjadi sangat tidak rasional. Rasa takut
ini membuatku nampak lebih bodoh dari biasanya, rasa takut dan mimpi buruk, dua
hal yang kemudian bersatu dalam alam pikiranku, dan membuat alam bawah sadarku
cemas setengah mati.
Tentang semua kebodohan dan rasa takut itu, kini aku
mencoba menutup rapat-rapat hatiku, baik untuknya, untukmu dan untuk siapapun.
Aku menutupnya dengan kunci-kunci kegetiran, sehingga nantinya perasaan,
ataupun iming-iming kebahagiaan tak mampu mencuri kunci itu dan menerobos masuk
kedalam hati rapuhku. Harapanku nantinya hati yang rapuh ini dapat berubah
menjelma menjadi hati yang lebih kuat, lebih tegar dalam menghadapi hal-hal
baru yang mungkin lebih menyakitkan dari ini.
Aku masih mengingat sangat jelas dimana aku
ditinggalkan dalam sepi dengan semua kebodohanku. Semua harapan, semua angan
yang ada didalam pikiran dan hatiku, tiba-tiba saja menjadi buta. Melemparku
ketempat yang jauh berbeda dari hari-hari bahagia kemarin, berubah menjadi
hari-hari yang menyakitkan.
Rasanya aku kalah, di kalahkan oleh kebodohanku, di kalahkan
oleh waktu. Aku terus berusaha menghapus semua racun-racun cinta yang dipenuhi
kebodohan ini, menepiskan semua angan-angan bodoh yang terus-menerus meliputi
imajinasi palsu dan bodoh yang tiba-tiba menyerangku. Rasa perih itu menusukku,
menghujamku tanpa ampun, bertubi-tubi, membuat nafasku tersengal dan aku
tersedak.
Aku terus berharap dan berusaha meyakikan diriku
sendiri, bahwa suatu saat nanti kebodohan ini akan hilang. Dan dengan
menghilangnya semua kebodohan akan disertai dengan hilangnya semua rasa sakit,
aku mungkin hanya bisa berharap. Ini sebuah harapan sebuah mimpi yang meskipun
mustahil aku ingin hal itu terwujud. Aku ingin semua sakit, semua mimpi buruk
semua masalah, semua nyeri, semua kepedihan hati, semua kebodohan, semuanya
menghilang, menguap dalam bayang-bayang dan semuanya perlahan-lahan mengabur terbang
dan lenyap ditelan waktu. Ini adalah keinginan terbesarku agar semua tatanan kembali
ketempatnya, agar semua rasa sakit sembuh tanpa meninggalkan bekas, agar
nantinya bisa terasa seperti tak pernah ada luka di hatiku, di hati siapapun.
Itulah sepenggal harapan bodoh, harapan yang hanya
memang harapan, ku sebut bodoh karena memang dengan bodohnya tak mampu
terwujud. Kusebut bodoh karena memang hanya sakit yang kemudian terasa, kusebut
bodoh karena aku menganggap ini bodoh. Sebodoh-bodohnya sibodoh adalah aku yang
masih paling bodoh, bodoh karena aku
tahu cara menjadi pintar, aku tahu cara terlepas dari kebodohan namun aku lebih
memilih untuk jadi tetap bodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar