Jumat, 18 April 2014

Tak Ingin Lagi Mengejar Matahari


Tak Ingin Lagi Mengejar Matahari


Dear Nay...
Saat ini aku sedang tersenyum kecut, melihat kenyataan yang tak kunjung berpihak padaku. Mungkin aku memang belum seberuntung itu, aku belum cukup layak untuk benar-benar menemukan dan memiliki cintaku.  Entahlah nay, tentang cinta itu sendiri aku pikir aku sudah cukup lelah untuk terus memperjuangkannya, aku lelah berlari dan aku ingin berhenti.

Dia tidak mencintaiku Nay, Dia tidak mencintaiku. Achi tidak pernah mencintaiku. Kamu tahu aku masih tetap bodoh, dengan ketulusan dan cinta yang aku punya. Cinta untukku adalah sebuah kebodohan. Kemarin aku pernah merasa bahagia bersamanya, dia membuat aku tersenyum dengan lepas dan tulus, dia membuat aku menjadi diriku sendiri tanpa kepura-puraan. Namun sayangnya selama ini dia berpura-pura.Sulit bagiku untuk mencerna semua ini aku masih berada dalam kebingungan, aku kehilangan arah.

Aku lelah Nay, lelah sekali. dalam kurun waktu sangat cepat rasa sakit beberapa bulan ini membuat otakku berfikir sangat lambat, rindu yang berubah jadi pilu. Sakitnya, perihnya, pedihnya, bercampur menjadi satu, dan aku harus tetap tersenyum agar terlihat normal. Aku tertawa terlalu keras, tawa itu sebuah kebodohan. Rasa perih yang terus berusaha aku tutupi seolah tak terjadi apapun toh pada kenyataannya tak mampu aku bendung. Aku tak ingin terlihat sedih, tak mau terlihat menderita dan  lemah, meski kadang akhirnya membludak juga dalam butiran air mata setelah tawa riuh itu.

Aku tidak baik-baik saja Nay, maafkan aku. Saat ini yang paling aku butuhkan adalah pelukanmu, usapan lembutmu dipipiku, dan kecupan tulusmu dipuncak kepalaku. Pelukkan kamu paling mampu menenangkan aku, dan kini semua itu tidak ada lagi, aku sendirian.

Kebodohanku Nay, membuat rasa sakit yang sama selalu terulang berkali-kali, akupun tak mengerti aku tak bisa berubah jadi kejam. Aku selalu berlari mengejar yang jauh diujung langit sana, mengejar matahari, mengejar senja, mengejar isi semesta. Aku selalu berusaha membahagiakan orang lain, meski aku sendiri merasakan kesakitan. Aku terluka oleh senja, aku terbakar oleh matahari dan aku berusaha membalut luka saat hujan turun, SENDIRIAN.

Kamu mungkin bintangku, selalu muncul dalam kesepian-kesepian sunyi tengah malam. Dan kini aku rindu kamu menyelimutiku saat aku telah lelah menangis. Seperti dulu, saat aku terkulai lemah dipelukkanmu, setelah tangisan hebat karena senja yang tiba-tiba menghilang, masih aku rindu caramu menyelimutiku yang masih sesenggukan, masih aku ingat erat lenganmu yang melingkar di tubuhku saat kamu menenangkan aku dari tangisku yang tak kunjung berhenti hingga pagi. Kini semua itu takkan pernah ada lagi. Hanya tinggal kenangan yang tersisa dipelupuk mataku dan terekam indah dalam benakku.

Kini aku tak punya cukup kekuatan lagi untuk berlari sendirian Nay, mengejar matahari yang jauh mengabaikanku, dan hanya menghadiahkan terik setelah kesejukan pagi yang sesaat. Aku ingin benar-benar berhenti, dan saat inipun aku tak mampu merasa, aku  tak bisa lagi mengecap rasa. Aku mati rasa.

Aku tak mampu lagi berlari Nay, aku kehabisan tenaga, kelelahan yang sangat luar biasa. Matahari itu semakin panas membakar kulitku yang kesakitan, membuat rasaku mati dalam kekalahan. Sementara senja yang selalu muncul dan tetap berusaha menghilang ditelan kegelapan.

Aku berhenti berlari...




By: Diandra

Senin, 14 April 2014

Dan Yang Terjadi



Dan Yang Terjadi
Mencari jawaban atas semua pertanyaan yang terus berkecamuk didalam hati dan pikiranku yang kalut, adalah hal teremosional yang pernah aku alami, kehawatiran terus-menerus menghuni batinku. Semua kemarahan itu, semua emosi itu aku simpan dikedalaman hatiku sendiri, berharap tak ada yang dapat membacanya, tak ada yang dapat menyelaminya. Aku tak berharap orang, siapapun itu dapat mengerti hatiku atau jalan pikiranku, aku sendiri menilai jalan pikiranku ini terlalu ruwet untuk dipahami. Hhh!! orang bodoh dengan jalan pikiran yang sulit dipahami. 
Aku sendiri kadang tidak bisa menduga apa yang dapat dihasilkan oleh pikiranku, dan nantinya keyakinan-keyakinan baru akan muncul. Aku takut keyakinan baru itu dapat merusak semua keyakinan lamaku yang rasional, aku sendiri semakin menyadari bahwa pikiran-pikiran baruku selalu berada dalam frekuensi yang irasional. Aku merasa takut akan hal itu, aku membutuhkan keberanian untuk bisa lebih tabah menerima perubahan yang begitu besar didalam hidupku. Ini sebuah kenyataan yang harus bisa aku kendalikan secepatnya, aku tak ingin bila pemikiran-pemikiranku yang penuh dendam meledak begitu saja tanpa peringatan terlebih dahulu, menggebu-gebu dan penuh emosi.
Aku semakin tepojok dalam dunia yang asing antara mimpi dan kenyataan, antara angan dan realita. Aku takut nantinya aku semakin terlarut dalam dimensi yang seperti ini, hingga aku tak mampu membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata. Aku takut tak bisa membedakan antara dunia mimpi dan dunia nyata, atau aku takut tak bisa menerka sedang diamanakah aku berada, dunia mimpi atau dunia nyata.
Perubahan besar dalam hidupku yang dipenuhi oleh rasa sakit  membuat cara pandangku akan sesuatu hal ikut berubah menjadi rancu dan sempit. Aku sendiri terus menerus berada dalam kebingungan akan apa yang tengah terjadi dalam hidupku. Perubahan demikian besar terjadi dalam hidupku saat aku berada dalam keadaan tidak siap, aku dibuat kalut dan bingung dengan keadaan baru ini yang membuat aku bimbang dan merasa tersesat di dunia yang  tidak aku kenal. 
Kelemahanku semakin terlihat, aku berharap aku tidak menangis dalam menghadapi kenyataan, walaupun sebenarnya rasa sakit ini sungguh sulit untuk ditepiskan, sungguh tak tertahankan. Kenapa harus seperti ini?? Kenapa harus cinta yang menyakitiku begitu dalam, kenapa cinta justru menjadi penyebab atas semua kekalutanku dan ketidak rasionalan pikiranku?? Kenapa cinta yang harus merubahku menjadi orang yang berbeda? menjadi orang yang tidak bahagia!?
Dan dulu sebelum rasa sakit itu muncul, sebelum aku ditinggalkan oleh cinta, sebelum cinta meminumkan racunnya padaku. Aku begitu bahagia dengan semua kepolosan jiwaku, aku bahagia menjadi si bengal yang nakal, aku bahagia menjadi si bodoh yang tidak mengenal cinta, dan menganggap cinta hanya menjadi milik orang dewasa yang tidak perlu dipedulikan, tidak perlu dipikirkan. Aku bahagia dengan datangnya hujan dan aku dapat bermain ditengah hujan dengan berlari-lari tanpa takut terjatuh dan basah, aku bahagia melihat matahari pagi bersinar yang dapat kusapa dengan memicingkan mata setiap kali melihatnya, aku bahagia menjadi diriku yang dulu, diriku yang kanak-kanak, diriku yang bau matahari.
Aku bahagia menjadi diriku yang dulu, diriku sebelum aku mengenal cinta. aku yang polos adalah aku yang melanggar semua perturan tanpa rasa malu. Aku yang dulu adalah aku yang mengejek orang dewasa yang menagisi cinta yang hilang, aku yang dulu adalah aku yang mengolok-olok cinta tanpa beban, dan menertawakan tingkah mereka yang dewasa saat mereka tiba-tiba menjadi linglung dan bodoh saat jatuh cinta.
Namun satu hal yang tidak aku perhatikan kala itu, bahwa suatu saat aku dapat berubah menjadi dewasa, bahwa suatu hari aku juga akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami orang-orang dewasa, ketika aku berubah menjadi dewasa. Hal ini yang paling aku sesali karena aku tak dapat melakukan persiapan apapun sebelumnya. Hal ini terabaikan begitu saja. Dan betapa terkejutnya aku sewaktu semua yang aku tertawakan kemudian menimpaku, mengahancurkanku tanpa ampun.
Aku dihancurkan perlahan-lahan dari dalam, paru-paruku seperti terbakar, dan semua berubah menjadi kepekatan yang hampa. Merasa kehilangan namun  tak mengerti apa yang hilang, merasa ditinggalkan namun tak mengerti kenapa bisa tiba-tiba meninggalkan, merasa marah dan tak tahu ditujukan pada siapa. Ingin menyalahkan namun tak mampu menyalahkan. Bagai mana bisa menyalahkan yang sulit untuk disalahkan, sulit untuk marah, sulit untuk mencaci, ketika orang yang membuatmu terluka parah adalah orang yang paling kau cintai, orang yang paling kau kasihi, bagaimana kau bisa marah jika satu-satunya orang yang berusaha mematikanmu adalah orang yang selama ini berusaha kau lindungi sepenuh jiwamu. Bagai mana kau bisa marah kalau dialah orang yang tanpa nafasnya kau tak bisa hidup? Bagai mana kau bisa menyalahkannya jika orang yang membuatmu sakit adalah orang yang demi dia kau rela melakukan apa saja?? 
Kemarahan berkumpul didalam hatimu, mengendap dan membeku didalam jiwamu. Membuatmu merasa terbakar, membuat tulang-tulang dan sendi-sendimu ngilu, kadang membuatmu sangat mual dan tersiksa. Kemarahan seperti ini, kemarahan yang sulit untuk dilampiaskan, kemarahan itu pula sulit untuk diredam. Kemarahan yang hanya tersimpan didalam kepala, hanya tertumpuk didalam hati. Tak ada pelampiasan, tak ada gerakan, tak ada suara. Kemarahan yang hanya berupa makian-makian, teriakan-teriakan kecil didalam hati. Sakit? Ya!! Sampai kadang membuat membuatku sulit untuk bernafas, sesak, perlahan-lahan mengahancurkan, mengikis, sedikit demi sedikit. Rasanya seperti seseorang meneteskan air garam diatas lukamu, tetes demi tetes akan terasa seperti terbakar saat tetesan itu tidak kunjung berhenti. Ingin berlari, pergi menghindar, melarikan diri dari rasa sakit kenyataan. Namun bagaimana bisa kau melarikan diri jika kakimu ditahan?
Entah siapa yang yang menahan, entah bagaimana menahannya aku tak mengerti. Namun jika yang menahanmu adalah orang yang kamu cintai sekaligus orang yang menyakitimu, akankah kamu mampu berlari? Akankah kamu mampu pergi! Sekalipun dia tak pernah bisa mencintaimu, sekalipun dia berpaling darimu. Namun jika dia menahanmu untuk melihatnya bahagia dengan cintanya yang  dia temukan, dan ironisnya cinta itu bukanlah dirimu mampukah  kamu mengatakan tidak, jika dia yang memintamu mendampinginya? Menjadi sahabat sejatinya.
Sejauh ini aku selalu mengatakan tidak untuk semua rasa sakit itu, namun kadang aku memberikan sedikit kelonggaran untuk rasa sakitku. Kadang aku mengatakan ya, kadang juga kukatakan tidak. Aku setia mendampinginya dihari-hari bahagianya sebagai sahabatnya, sebagai mantan kekasih yang dijadikan sahabat. Hhh!! Sahabat bagaimana? Lalu inikah wujud cinta itu!?? 
Banyak orang mengatakan bahwa cinta adalah hal yang tidak bersifat memiliki. Bahwa kebahagiaan orang yang kita cintai adalah hal paling utama sebagai wujud dari mencintai. BULLSHIT!! Aku berkorban begitu banyak untuknya lalu kenapa aku tak boleh menjadi egois?? Aku berbuat banyak untuknya lalu kenapa aku harus melepaskannya?? Apakah dosa besar jika aku egois?? jika aku ingin memilikinya, jika aku ingin mendapat balasan yang sepadan atas semua hal yang telah mati-matian aku korbankan untuk cinta bodoh ini??
Demi Tuhan!! Aku ini hanya manusia biasa dengan segala keterbatasan, dan keegoisan. Lalu kenapa harus aku yang berkorban!!?? Kenapa tidak dia? Kenapa tidak mereka? Kenapa aku yang harus berbuat adil kepada orang yang yang aku cintai sementara dia tak bisa berbuat satu kebaikan kecil saja padaku, dengan tidak memintaku untuk menjadi sahabatnya?? Jadikan saja aku musuhnya!! Jadikan saja aku musuhmu wahai cintaku, aku mohon.
Sehingga aku mampu untuk membencimu, dan aku mampu untuk pergi jauh dengan semua kebencianku tanpa rasa bersalah apapun karena telah membencimu. Aku mohon bencilah aku cintaku. Agar aku dapat membencimu dengan penuh kemarahan dan aku bisa mencurahkan semuanya melalui kemarahan itu, aku bisa berteriak sekencang-kencangnya bahwa aku membencimu!! Mungkin dengan begitu keadaan akan lebih baik untukku, mungkin semuanya akan terasa adil jika kamu mampu membuatku membencimu sedikit saja.
Jangan jadikan aku sahabatmu cintaku, jika kamu telah berpaling pada hati yang lain. Aku bukan malaikat yang mempunyai kebaikan yang super, aku bukan malaikat yang tidak memiliki rasa sakit. Aku hanya manusia yang sangat biasa-biasa saja. Hingga bila kamu menggoreskan sedikit luka saja, rasa perihnya akan terasa dan tak hilang hingga bertahun-tahun. Sungguh akan lebih mudah jika aku bisa membencimu. Jika aku membencimu aku hanya perlu marah tanpa harus menangis, aku hanya perlu pergi tanpa harus merasa memiliki beban berat yang tertinggal, aku hanya perlu marah dan pergi.
Seandainya aku  bisa pergi begitu saja, dan memulai kehidupanku yang baru akan sangat mudah bagiku untuk meneruskan hidupku.

Minggu, 13 April 2014

Aku dan Kebodohan



Aku dan Kebodohan

Pada malam-malam kelam setelah semua rasa sakit yang aku rasakan diterangnya hari-hari penuh matahari. Aku terus bergumul dengan mimpi-mimpiku yang tak terwujud, aku terus berusaha tertidur untuk bermimpi lagi, bermimpi lagi. Terus berusaha menembus waktu dan batasan-batasan, melupakan norma-norma dan normalisasi kehidupan yang berada diujung hari-hari penuh kegalauan. Kehampaan hanyalah sebuah bentuk visualisasi dari rasa sepi yang begitu merasuki jiwa, rasa sepi yang kadang-kadang bisa tiba-tiba membakar dengan ledakan-ledakan besar didalam jiwa yang kosong. 

Aku sendiri merasa bodoh dalam pergumulan dengan jiwaku sendiri, bukankah sangat bodoh menangisi hal-hal yang tak  mungkin bisa kembali? Bukankah sangat bodoh mengharapkan hal yang sudah jelas takkan pernah bisa kau wujudkan!!?? Bukankah sangat bodoh berusaha menari-nari ditengah-tengah kobaran api yang begitu membludak namun tak satupun yang mau memadamkannya? Tak satupun peduli. Tidak dia, tidak juga waktu. Hah betapa bodohnya.

Kebodohan bukanlah satu-satunya hal yang bisa membuatku menyesali tentang ketidakbahagiaan yang aku rasakan, kebodohan hanyalah media dimana takdir yang tak mampu kurubah, menjalankan peranannya secara utuh. Kebodohan hanyalah visualisasi terapan dari sempitnya pemikiran-pemikiran manusia. Dan kebodohan adalah aku, kebodohan adalah aku yang berpikiran sangat sempit dalam memandang dunia yang luas, kebodohan adalah aku yang tak mampu mengukur seberapa jauh jarak antara hati, cinta dan benci, disatukan dalam benang merah perasaan. Kebodohan adalah dunia ini yang memandang setiap manusia dari visualisasi mata, tanpa melihat seberapa jauh pemikiran. Kebodohan adalah dangkalnya pemikiran dalam menilai sesuatu yang terlalu cepat dinilai tanpa mengetahui latar belakang dan seluk-beluk. 

Kebodohan itu sangat bercokol dalam hati, pikiran, logika dan bahkan perasaan, kebodohan erat kaitannya dengan keangkuhan, kesombongan dan kecongkakan hati. Aku adalah orang yang angkuh dan pesimistik terhadap cinta, aku adalah orang yang paling pendendam dan sinis dalam menilai orang lain, dan aku adalah orang yang bodoh.

Dan pada kenyataannya manusia adalah makhluk terbodoh yang pernah ada dimuka bumi, hal ini dibuktikan dengan kesia-siaan yang mereka bawa, mereka ciptakan atas semua tindakan kesemena-menaan yang pernah ada.  Kenyataannya manusia memang makhluk paling bodoh, makhluk tamak yang bodoh. Manusia makhluk yang dengan kepintarannya menjadi sangat bodoh dengan kedangkalan jangkauan dan terbatasnya titik pandang. Manusia memiliki kepintaran yang tak terbatas, namun manusiapun menjadi bodoh dengan cara berfikir yang sempit.

Manusia menjadi bodoh dengan semua keegoisan yang dimiliki, kenyataannya manusia egois memang manusia bodoh, manusia dengan egoisnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan perasaan manusia lainya. Dan hal ini aku menyebutnya dengan kebodohan yang tak berperikemanusiaan. Keegoisan adalah hal kejam yang orang lakukan dengan menyakiti orang lain, makhluk lain. 
Aku lega setidaknya aku bukan satu-satunya manusia bodoh dalam kebodohan ini, hanya mungkin aku adalah satu-satunya masokis bodoh, yang tak tau bagaimana menjalan kehidupan selanjutnya setelah semua rasa sakit yang aku rasakan. Selama ini aku menjalankan kesia-siaan yang bodoh, menaruh diriku dalam titik-titik kebodohan yang fatal. Bukan lantaran aku tak tau bagaimana cara mengakhiri rasa sakit ini, penyakit bodoh yang terus menggerogotiku, hingga tulang-tulangku terasa nyeri. 

Hanya saja dengan bodohnya aku tak rela bila rasa sakit ini kemudian menghilang bersama kenangan-kenangan indah yang bodoh yang sebenarnya dari dalam pikiranku tak ingin memikirkannya lagi, tak ingin kenangan itu ada lagi dalam ingatanku, yang setiap malamnya bisa menghantamku bertubi-tubi mengantarkanku kedalam mimpi buruk yang melelahkan. Namun dengan sangat menyiksannya hati bodohku ini menolak semua itu, menolak bila kenangan-kenangan indah yang bisa menjadi kenangan buruk hanya dalam hitungan detik itu, terbuang begitu saja, meskipun sebenarnya logikaku menyangkalnya. Dengan keras dan lantang logikaku meneriakan padaku bahwa hatiku mesti rela membuang semuanya, kenangan indah yang berasal dari masa lalu itu harus secepatnya dimusnahkan.

Karena sesungguhnya kenangan bodoh itulah yang membuat aku tak bisa bernafas lega, kenangan bodoh itulah yang membuat otakku tak bisa berfikir dengan benar, dan ini semua memang tidak benar, kesia-siaan, kebodohan dan kemusnahan. 

Entah kapan tepatnya aku bisa menghilangkan kebodohan ini dari dalam hatiku, kebodohan ini, kenangan ini, dari indah dengan bodohnya berubah, bermetamorfosis dengan begitu cepatnya menjadi kenangan-kenangan buruk. Aku sendiri terperangah mengatahui hal itu, aku masih tidak percaya dengan semua yang terjadi, aku masih tak percaya dengan semua keindahan yang terenggut begitu saja dari dalam kehidupanku.

Semua kebodohan itu, masih kupikul dipundakku, cinta yang bodoh, kenangan yang bodoh, pikiran yang bodoh, hati yang bodoh, dan  hidup yang bodoh. Semua lagu-lagu sedih yang kudendangkan menyerukan kebodohan, semua puisi, semua perjalanan, semua pertemuan, semua rasa, semua tatapan, semua getaran, semua kata, semua kalimat, semua canda, semua tawa, semua senyuman, semua tangis, semua air mata, semua hal, semuanya terangkum dalam tatanan-tatanan kebodohan yang sungguh-sungguh bodoh.

Dialah sibodoh, kekasih bodoh, pecinta bodoh, perasa yang bodoh, komentar-komentar bodoh, kelakuan yang bodoh, perhatian yang bodoh, cahaya yang bodoh, keceriaan yang bodoh, keputusan-keputusan yang bodoh, perubahan yang bodoh, takdir yang bodoh, dan aku yang benar-benar bodoh. 

Semetara dunia ini sibuk dengan berbagai macam kebodohan yang ada, sedang aku sibuk mendengkur dalam tidur yang disertai dengan mimpi-mimpi dan saat aku terbangun, tiba-tiba saja aku berubah menjadi lebih bodoh, dengan semua harapan-harapan baru, yang muncul menambah satu lagi daftar kemustahilan yang aku tulis dalam catatan-catatan, daftar harapan-harapan bodohku.

Didalam semua kebodohan yang aku miliki, terselip rasa takut yang luar biasa. Rasa takut ini bisa sangat mempengaruri keputusan-keputusanku, mengubahnya menjadi sangat tidak rasional. Rasa takut ini membuatku nampak lebih bodoh dari biasanya, rasa takut dan mimpi buruk, dua hal yang kemudian bersatu dalam alam pikiranku, dan membuat alam bawah sadarku cemas setengah mati. 

Tentang semua kebodohan dan rasa takut itu, kini aku mencoba menutup rapat-rapat hatiku, baik untuknya, untukmu dan untuk siapapun. Aku menutupnya dengan kunci-kunci kegetiran, sehingga nantinya perasaan, ataupun iming-iming kebahagiaan tak mampu mencuri kunci itu dan menerobos masuk kedalam hati rapuhku. Harapanku nantinya hati yang rapuh ini dapat berubah menjelma menjadi hati yang lebih kuat, lebih tegar dalam menghadapi hal-hal baru yang mungkin lebih menyakitkan dari ini. 

Aku masih mengingat sangat jelas dimana aku ditinggalkan dalam sepi dengan semua kebodohanku. Semua harapan, semua angan yang ada didalam pikiran dan hatiku, tiba-tiba saja menjadi buta. Melemparku ketempat yang jauh berbeda dari hari-hari bahagia kemarin, berubah menjadi hari-hari yang menyakitkan. 
Rasanya aku kalah, di kalahkan oleh kebodohanku, di kalahkan oleh waktu. Aku terus berusaha menghapus semua racun-racun cinta yang dipenuhi kebodohan ini, menepiskan semua angan-angan bodoh yang terus-menerus meliputi imajinasi palsu dan bodoh yang tiba-tiba menyerangku. Rasa perih itu menusukku, menghujamku tanpa ampun, bertubi-tubi, membuat nafasku tersengal dan aku tersedak.

Aku terus berharap dan berusaha meyakikan diriku sendiri, bahwa suatu saat nanti kebodohan ini akan hilang. Dan dengan menghilangnya semua kebodohan akan disertai dengan hilangnya semua rasa sakit, aku mungkin hanya bisa berharap. Ini sebuah harapan sebuah mimpi yang meskipun mustahil aku ingin hal itu terwujud. Aku ingin semua sakit, semua mimpi buruk semua masalah, semua nyeri, semua kepedihan hati, semua kebodohan, semuanya menghilang, menguap dalam bayang-bayang dan semuanya perlahan-lahan mengabur terbang dan lenyap ditelan waktu. Ini adalah keinginan terbesarku agar semua tatanan kembali ketempatnya, agar semua rasa sakit sembuh tanpa meninggalkan bekas, agar nantinya bisa terasa seperti tak pernah ada luka di hatiku, di hati siapapun.

Itulah sepenggal harapan bodoh, harapan yang hanya memang harapan, ku sebut bodoh karena memang dengan bodohnya tak mampu terwujud. Kusebut bodoh karena memang hanya sakit yang kemudian terasa, kusebut bodoh karena aku menganggap ini bodoh. Sebodoh-bodohnya sibodoh adalah aku yang masih paling bodoh,  bodoh karena aku tahu cara menjadi pintar, aku tahu cara terlepas dari kebodohan namun aku lebih memilih untuk jadi tetap bodoh.