Sabtu, 20 Juli 2013

Perpisahan



Perpisahan, bukanlah sesuatu hal yang istimewa hingga harus ditangisi berulang-ulang. Namun sekalipun  perpisahan adalah hal yang paling biasa diduniapun akan tetap meninggalkan rasa nyeri yang aneh. Rasa nyeri baru yang menghantam luka yang sudah cukup berdarah, luka yang tertimpa luka adalah luka yang terkorek dan akan bernanah, dan luka yang bernanah menimbulkan rasa sakit yang aneh bernama perih. Perih inilah hal yang aku takutkan dari sebuah perpisahan, bukan perpisahannya, bukan saat detik-detik perpisahan itu tiba, namun saat perpisahan itu usai dan berganti dengan kesunyian yang kosong. 

Kekosongan itu yang aku sebut perih, hati yang kosong menimbulkan perih yang cukup membuat perputaran waktu buyar dalam hari-hari yang tak terasa wajar. Dedaunan akan terlihat gugur, udara akan terasa hambar, tak ada satu halpun yang membuat lidahnmu merasakan manis, bahkan saat kau menjilat mangkuk yang dipenuhi  madu.

Rasa perih yang seperti ini yang perlahan-lahan akan cukup mampu membuatmu berfikir dua kali untuk mengenal rasa baru, cinta yang baru. Rasa perih menimbulkan ketakutan-ketakutan yang paranoid, takut akan Cinta baru, takut akan perpisahan yang terulang, perpisahan yang tak pernah ada harapan untuk dipertemukan kembali, sekalipun dipertemukan dalam kurun waktu dan dimensi yang berbeda. Rasa perih dimasa lalu akan terasa sampai bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, rasa sakit itu telah disimbolkan oleh Mum Taj, dalam megahnya Taj Mahal, tingginya menara Eiffel dan Uniknya Prambanan. Rasa sakit oleh cinta yang penuh perjuangan akan pembuktian, pembuktian cinta yang sia-sia dari masa silam. Betapa simbol-simbol Indah itu mampu dilihat dan dikenang dimasa depan, namun mereka semua yang melihat, tak mampu melihat kesia-siaan didalamnya, kesia-siaan bernama perpisanah.

Aku sendiri masih merasa belum cukup mengenal perpisahan dalam beberapa perpsektif dan pengertian, betapa rasa sakit dari perpisahan itu sendiri tak mampu menggoyahkan sedikitpun keyakinan manusia terhadap cinta. Betapapun sakitnya perpisahan, perihnya ditinggal pujaan tak mampu membuat manusia meningglakan cinta, manusia tetap patuh pada cinta dan berharap bisa bahagia karenannya, manusia tetap berlutut penuh penyerahan diri terhadap cinta.

Dulu akupun berharap seperti itu bahwa cinta akan membuatku bahagia tanpa rasa perih perpisahan. Dulu aku begitu memuja cinta hingga aku tak pernah mempertanyakan apakah semua itu bisa berakhir? Dan dalam pengaruh rasa bahagia sesaat yang cinta berikan kepadaku, aku melupakan pertanyaan itu. Aku sepenuhnya yakin bahwa bahagia adalah milikku yang diberikan oleh cinta padaku dan hal itu tak pernah terlintas untuk kupikir akan berakhir. Namun lagi-lagi aku terkecoh dalam rasa bahagia itu, semua rasionalisme, semua pemikiran, semua hitungan angka memecah menjadi partikel-partikel kecil, sekecil debu yang kemudian hancur dan menghilang. Begitu pintar dan briliantnya cara cinta memerangkapku, hingga aku tak menyadari rasa sakit yang akan dihadiahkannya kepadaku.

Dan tak berapa lama, ketika aku benar-benar tak bisa melepaskan cinta dari dalam hati dan jiwaku, cinta menghadiahkan rasa sakit itu, rasa perih perpisahan. Pahitnya masih bisa kurasakan dilidahku, pahitnya cinta yang berakhir dengan  perpisahan. Pahit itu masih tetap bisa kurasakan meski bertahun-tahun telah berlalu, dan musim telah lama berganti dengan berputarnya bumi mengelilingi matahari dalam poros yang tak pernah meleset. 

Sesungguhnya aku tak pernah meninggalkan cinta meski sedetik, namun cintalah yang meninggalakan aku saat aku telah menjadi bodoh dan tak mampu berfikir realistis. Karena itulah aku membeci cinta, cinta yang dipenuhi oleh tipu daya dan kebohongan. Cinta yang berakhir ditangan sebuah rasa perih bernama perpisahan.

Perpisahan penuh kehampaan membuatku tak mampu melihat keindahan milik Tuhan yang lainnya, perpisahaan yang tanpa peringatan membuatku buta dan tak mampu merasa. Perpisahaan yang tak pernah direncanakan  membuatku tak bisa berkata, tak dapat mencerna dengan baik. Dan aku bukannya tak berusaha untuk merelakan, namun aku berusaha dengan sepenuh keikhlasanku untuk melepaskannya. Tapi aku tak mampu menghilangkan rasa perih itu, rasa perih panas yang tak mampu kuhilangkan dan ku obati, meski aku telah berada diujung negeri. Aku rela melakukan apa saja untuk menghilangkan rasa perih ini, karena rasa perih ini yang tak bisa membuatku menjalani hidupku dengan normal, rasa sakit ini mengganggu kelangsungan hidupku. Hidupku dipenuhi kegelisahan yang membuatku tak berani untuk memulai sebuah mimpi yang baru. Aku tak bisa melanjutkan mimpiku, dan mimpi indahku dengan mudahnya berubah menjadi sebuah mimpi buruk yang selalu hadir setiap aku mencoba memejamkan mataku di saat larut.

Aku tak bisa tidur dan semua rasa sakit yang menghantamku bertubi-tubi saat aku mulai mencoba untuk tidur, adalah halangan terbesarku untuk bermimpi lagi. Padahal dulu hidupku dipenuhi mimpi-mimpi indah, mimpi-mimpi tentang cinta dan kebahagiaan. Mimpi-mimpi tentang cinta dan harapan, dan mimpi-mimpi tentang cinta yang berakhir indah di masa depan. Begitu terlenanya aku akan cinta, begitu terlelapnya aku dalam mimpi-mimpi yang diberikan oleh cinta, hingga kemudia aku merasakan rasa sakit perpisahan cinta yang begitu mendalam. Cinta adalah sebuah pengharapan yang sia-sia, yang diletakkan Tuhan didalam hati manusia sebagai anugerah sekaligus hukuman. 

Cinta yang berakhir dengan Pahitnya perpisahan adalah cinta yang anugerah dan cinta yang memiliki penghukumannya sendiri. Cinta seperti inilah yang aku sebut dengan cinta bodoh yang dungu. Cinta yang seperti inilah cinta yang penuh dengan rasa sakit. Cinta yang anugerah dan cinta yang hukuman.
Aku sendiri sepenuhnya sadar bahwa didunia ini, seberapa eratnyapun kita menggenggam sesuatu dan menjaganya dengan sepenuh hati, semua itu bisa saja hilang dan hancur, karena didunia ini memang tak ada yang abadi. Begitu pula dengan cinta, cinta takkan pernah abadi itulah sebabnya kenapa ada perpisahan. Namun walaupun dalam persepektif yang seperti ini aku dapat sepenuhnya menyadari dan mengerti akan ketidak abadian, tetap saja aku marah, kecewa dan sakit hati pada cinta, pada rasa sakit dan pada perpisahan. 

Karena itulah dengan alasan apapun dan dengan kondisi apapun aku tetap membenci sebuah perpisahan, karena dengan perpisahan semua harapan memudar.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar