Perpisahan, bukanlah sesuatu hal yang istimewa hingga harus
ditangisi berulang-ulang. Namun sekalipun
perpisahan adalah hal yang paling biasa diduniapun akan tetap
meninggalkan rasa nyeri yang aneh. Rasa nyeri baru yang menghantam luka yang
sudah cukup berdarah, luka yang tertimpa luka adalah luka yang terkorek dan
akan bernanah, dan luka yang bernanah menimbulkan rasa sakit yang aneh bernama
perih. Perih inilah hal yang aku takutkan dari sebuah perpisahan, bukan
perpisahannya, bukan saat detik-detik perpisahan itu tiba, namun saat
perpisahan itu usai dan berganti dengan kesunyian yang kosong.
Kekosongan itu yang aku sebut perih, hati yang kosong
menimbulkan perih yang cukup membuat perputaran waktu buyar dalam hari-hari
yang tak terasa wajar. Dedaunan akan terlihat gugur, udara akan terasa hambar,
tak ada satu halpun yang membuat lidahnmu merasakan manis, bahkan saat kau menjilat
mangkuk yang dipenuhi madu.
Rasa perih yang seperti ini yang perlahan-lahan akan cukup
mampu membuatmu berfikir dua kali untuk mengenal rasa baru, cinta yang baru.
Rasa perih menimbulkan ketakutan-ketakutan yang paranoid, takut akan Cinta
baru, takut akan perpisahan yang terulang, perpisahan yang tak pernah ada
harapan untuk dipertemukan kembali, sekalipun dipertemukan dalam kurun waktu
dan dimensi yang berbeda. Rasa perih dimasa lalu akan terasa sampai
bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, rasa sakit itu telah disimbolkan oleh Mum
Taj, dalam megahnya Taj Mahal, tingginya menara Eiffel dan Uniknya Prambanan.
Rasa sakit oleh cinta yang penuh perjuangan akan pembuktian, pembuktian cinta
yang sia-sia dari masa silam. Betapa simbol-simbol Indah itu mampu dilihat dan
dikenang dimasa depan, namun mereka semua yang melihat, tak mampu melihat
kesia-siaan didalamnya, kesia-siaan bernama perpisanah.
Aku sendiri masih merasa belum cukup mengenal perpisahan
dalam beberapa perpsektif dan pengertian, betapa rasa sakit dari perpisahan itu
sendiri tak mampu menggoyahkan sedikitpun keyakinan manusia terhadap cinta.
Betapapun sakitnya perpisahan, perihnya ditinggal pujaan tak mampu membuat
manusia meningglakan cinta, manusia tetap patuh pada cinta dan berharap bisa
bahagia karenannya, manusia tetap berlutut penuh penyerahan diri terhadap
cinta.
Dulu akupun berharap seperti itu bahwa cinta akan membuatku
bahagia tanpa rasa perih perpisahan. Dulu aku begitu memuja cinta hingga aku tak
pernah mempertanyakan apakah semua itu bisa berakhir? Dan dalam pengaruh rasa
bahagia sesaat yang cinta berikan kepadaku, aku melupakan pertanyaan itu. Aku
sepenuhnya yakin bahwa bahagia adalah milikku yang diberikan oleh cinta padaku
dan hal itu tak pernah terlintas untuk kupikir akan berakhir. Namun lagi-lagi
aku terkecoh dalam rasa bahagia itu, semua rasionalisme, semua pemikiran, semua
hitungan angka memecah menjadi partikel-partikel kecil, sekecil debu yang
kemudian hancur dan menghilang. Begitu pintar dan briliantnya cara cinta memerangkapku,
hingga aku tak menyadari rasa sakit yang akan dihadiahkannya kepadaku.
Dan tak berapa lama, ketika aku benar-benar tak bisa
melepaskan cinta dari dalam hati dan jiwaku, cinta menghadiahkan rasa sakit
itu, rasa perih perpisahan. Pahitnya masih bisa kurasakan dilidahku, pahitnya
cinta yang berakhir dengan perpisahan.
Pahit itu masih tetap bisa kurasakan meski bertahun-tahun telah berlalu, dan
musim telah lama berganti dengan berputarnya bumi mengelilingi matahari dalam
poros yang tak pernah meleset.
Sesungguhnya aku tak pernah meninggalkan cinta meski
sedetik, namun cintalah yang meninggalakan aku saat aku telah menjadi bodoh dan
tak mampu berfikir realistis. Karena itulah aku membeci cinta, cinta yang
dipenuhi oleh tipu daya dan kebohongan. Cinta yang berakhir ditangan sebuah
rasa perih bernama perpisahan.
Perpisahan penuh kehampaan membuatku tak mampu melihat
keindahan milik Tuhan yang lainnya, perpisahaan yang tanpa peringatan membuatku
buta dan tak mampu merasa. Perpisahaan yang tak pernah direncanakan membuatku tak bisa berkata, tak dapat mencerna
dengan baik. Dan aku bukannya tak berusaha untuk merelakan, namun aku berusaha
dengan sepenuh keikhlasanku untuk melepaskannya. Tapi aku tak mampu
menghilangkan rasa perih itu, rasa perih panas yang tak mampu kuhilangkan dan
ku obati, meski aku telah berada diujung negeri. Aku rela melakukan apa saja
untuk menghilangkan rasa perih ini, karena rasa perih ini yang tak bisa
membuatku menjalani hidupku dengan normal, rasa sakit ini mengganggu
kelangsungan hidupku. Hidupku dipenuhi kegelisahan yang membuatku tak berani
untuk memulai sebuah mimpi yang baru. Aku tak bisa melanjutkan mimpiku, dan
mimpi indahku dengan mudahnya berubah menjadi sebuah mimpi buruk yang selalu
hadir setiap aku mencoba memejamkan mataku di saat larut.
Aku tak bisa tidur dan semua rasa sakit yang menghantamku
bertubi-tubi saat aku mulai mencoba untuk tidur, adalah halangan terbesarku
untuk bermimpi lagi. Padahal dulu hidupku dipenuhi mimpi-mimpi indah,
mimpi-mimpi tentang cinta dan kebahagiaan. Mimpi-mimpi tentang cinta dan
harapan, dan mimpi-mimpi tentang cinta yang berakhir indah di masa depan. Begitu
terlenanya aku akan cinta, begitu terlelapnya aku dalam mimpi-mimpi yang
diberikan oleh cinta, hingga kemudia aku merasakan rasa sakit perpisahan cinta
yang begitu mendalam. Cinta adalah sebuah pengharapan yang sia-sia, yang
diletakkan Tuhan didalam hati manusia sebagai anugerah sekaligus hukuman.
Cinta yang berakhir dengan Pahitnya perpisahan adalah cinta
yang anugerah dan cinta yang memiliki penghukumannya sendiri. Cinta seperti
inilah yang aku sebut dengan cinta bodoh yang dungu. Cinta yang seperti inilah
cinta yang penuh dengan rasa sakit. Cinta yang anugerah dan cinta yang hukuman.
Aku sendiri sepenuhnya sadar bahwa didunia ini, seberapa
eratnyapun kita menggenggam sesuatu dan menjaganya dengan sepenuh hati, semua
itu bisa saja hilang dan hancur, karena didunia ini memang tak ada yang abadi.
Begitu pula dengan cinta, cinta takkan pernah abadi itulah sebabnya kenapa ada
perpisahan. Namun walaupun dalam persepektif yang seperti ini aku dapat
sepenuhnya menyadari dan mengerti akan ketidak abadian, tetap saja aku marah,
kecewa dan sakit hati pada cinta, pada rasa sakit dan pada perpisahan.
Karena itulah dengan alasan apapun dan dengan kondisi apapun
aku tetap membenci sebuah perpisahan, karena dengan perpisahan semua harapan
memudar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar